Ramadhan, Kemerdekaan, dan Hujan

Hari ini tepat 67 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Pada hari yang sama dan kondisi yang sama dengan hari ini, Indonesia menyatakan dirinya merdeka. Bebas dari penjajahan dan penindasan, ya meskipun sebenarnya penjajahan dan penindasan masih sangat kentara di tahun 2012 ini, hanya saja dalam bentuk yang berbeda.

Hari Jumat, 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi di kediaman Soekarno (sebagian) rakyat Indonesia berkumpul untuk menyaksikan momentum yang sangat bersejarah bagi negeri ini. Pada saat itu umat muslim sedang menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan. Sama dengan hari ini, hari Jumat, 17 Agustus 2012, bertepatan juga dengan ritual ibadah puasa ramadhan.
Melihat timeline twitter kadang membosankan, semangat yang terlalu menggebu menyambut kemerdekaan. Miris, iya. Dibalik slogan kemerdekaan tapi masih saja ada yang bermasalah dengan kesejahteraan, banyak rakyat Indonesia yang belum merdeka. Itu kadang membosankan. Tapi ada juga yang menjijikkan. Melihat orang yang sangat sinis dan skeptis terhadap semangat kemerdekaan. Bisanya hanya menebar benci bahkan menghina nilai-nilai kemerdekaan. Seharusnya momentum kemerdekaan yang bertepatan dengan bulan ramadhan mestilah menghasilkan nilai-nilai positif dan optimis, bukan sebaliknya. Jika terus saling menyalahkan, kapan negeri ini akan aman?!
Sejak awal ramadhan, kota ini tak pernah sekalipun diguyur hujan. Panas kemarau melanda. Tanaman kering, hasil pertanianpun menurun sehingga berdampak pada harga bahan pokok dan menekan daya beli masyarakat. Tapi, tepat ketika saya mulai memainkan keyboard ini, hujan turun tanpa ampun meski tidak terlalu lama, dinginnya cukup menulang. Berkah ramadhan yang ditunggu, merdeka dari rasa haus akan hujan. Kita dibebaskan dari gerah yang melata di setiap lubang pori-pori kulit kita.
Maka nilai ramadhan mana yang tidak bisa disebut sebagai kemerdekaan?
Orang-orang yang merasakan merdeka ialah mereka yang berhasil menundukkan hawa nafsunya. Bukan aku, bukan kamu, bisa saja mereka. Aku dan kamu bisa saja berada di dalam ‘mereka’, tapi kadang merasa belum pantas. Lihat saja tempo hari, ribuan orang berbondong-bondong shalat minta hujan, tapi cukup lama baru dikabulkan. Bertanya-tanya pada diri, apakah diri ini sudah cukup layak untuk meminta? -selesai